Minggu, 14 Oktober 2012

Ekspedisi Part one

Awal perjalanan Ekspedisi kali ini, di awali oleh mimpi dari Jro Mangku I WAYAN SIWI, di tampakan oleh sebuah wujud pemandangan alam yg asri dan beliau di sarankan agar segera mencari lokasi tersebut. Pada waktu UMANIS GALUNGAN kajeng umanis 30 agustus 2012 , anak beliau menelfon saya dan mengabarkan akan melakukan perjalanan penjelajahan ke atas sebuah gunung, untuk mencari tempat yg di mimpikan oleh sang ayah, Dan menawarkan saya agar ikut serta dlm perjalanan tersebut. seketika itu juga saya menyangupinya dan segera berangkat ke rumah beliau, ketika tiba disana saya bertemu dengan rekan” beliau yg lain dan beberapa saat kemudian kami memulai perjalanan ekspedisi penjelajahan alam kali ini, dari desa PURWOSARI kec.torue Kab.parimo Sulawesi tenggah, kami berangkat menelusuri perkampungan dan perkebunan warga dan dlm perjanan kami bertemu dengan seorang pemandu yg telah berjanji akan memandu kami ke tempat yg berada dalam mimpi Jro mangku I waya siwi trsbt. Pendakian pun di mulai menelusuri perkebunan warga di jajaran pegunungan Topi Wajo / Gunung Bundar, medan yg curam dam lokasi jalan setapak membuat riuh perjalanan, ketika sampai di akhir jln pekebunan tesebut, kami melanjutkan perjlanan dengan bejalan kaki menelusuri sisa” perkebunan dan tibalah kami di atas sebuah bukit dan di bawah bukit trsb terdapat sebuah sungai, tanda-tanda lokasi yg terdapat dlm mimpi Jro Mangku I Wayan Siwi  telah nampak beliau mengatakan tandanya tlah terlihat sebuah pohon cemara yg menjulang tinggi ke langit dan sebuah pohon beringgin. Tapi yg jadi kendala adalah jalan menuju ke arah sungai itu blm di ketahui karena kami berada tepat di atas bukit dan d beberapa bagian bukit trsbt terdapat tebing yg curam mengarah ke arah sungai yg di maksud. Beberapa waktu mencari jalan akhirnya ketemu jalan yg pas menuju sungai yg di maksud, akhirnya kami menuruni perbukitan yg terjal dan penuh semak blukar, dan sampailah kami di tepi sebuah sungai yg di maksud dlm mimpi Jro mangku suara LEDAKAN bebebatuan pun menyambut kami sebagai pertanda ucapan slamat datang oleh tuan rumah/orang ”mahluk” yg mendiami lokasi tsbt. Beberapa puluh meter di depan nampak terlihat pohon cemara dan setibanya di poho cemara tsrbt, nampak terlihat air yg mengalir dari bongkahan batu Besar yg di tutupi oleh semak,, ketika semak belukar tersebut di bersihkan dan airnya di sentuh oleh Jro Mangku, tiba “ saja air yg mengalir dari bongkahan batu tsbt menjadi lebih banyak dan mengeluarkan asap dan terasa air tersebut menjadi hangat dan lama kelamaan menjadi PANAS. Ketika di lakukan ritual dan mohon petunjuk untuk mengetahui Apa nama dan siapa Pemilik / Pengusa tempat tersebut. KAKEK RAJA GUNUNG BUNDAR Mengatakan bahwa Tempat tersebut bernama Air Panas Dopi-Dopi tingkat III, ada 7 buah mata air panas/tuju tingkat, dan yg pertama dan kedua tlah di ketahui sebelumnya. Beliau juga Berpesan kepada semua mahluk khususnya Manusia agar jagan serakah dan harus menyatu dengan alam semesta dan berkenalan dengan penghuni atau maluk” lain agar  tak terjadi bencana alam. Dan ketika dalam pengalian informasi berikutnya di ketahuilah nama pemilik lokasi tersebut Bernama Ratu Niang Mas Berambut  Panjang ( Nenek Dewi Putri ). Dan beliau mengatakan bahwa air yg terdapat dlm mata air panas tsbt, bisa di gunakan apa saja, penyembuhan berbagai macam penyakit, penghancur segala macam hama baik di ladang maupun d sawah dan masih banyak lagi khasiat dari air trsbt. Dan beliau juga bepesan bagi orang” yg inggin mengujungi tempat trsbt dengan niat dan Itikad baik. Niang Mas akan menyambut dengan sangat baik tanpa memilih” dan menyamaratakan orang” yg mau berkunjung ke tempat Niang Mas tsbt.

Selasa, 21 Agustus 2012

Barong : Simbol Penjaga Bali


Braahmaa srjayate lokam
Visnave paalakaa sthitam.
Rudretve sanharas ceva
Tri Murthi naama evaca.
(Bhuwana Kosa. III.78).


Maksudnya:
Batara Siwa menciptakan alam ini dengan wujud Dewa Brahma, dengan wujud Dewa Wisnu menjaga alam ini. Dengan wujud Dewa Rudra beliau mempralina alam ini. Itulah Dewa Tri Murti, tiga wujud itu hanya beda nama.

Dalam ajaran Hindu, Tuhan itu Esa hal ini dinyatakan dalam kitab Rgveda maupun kitab-kitab Sastra Hindu lainnya. Tuhan Yang Maha Esa itu memiliki kemahakuasaan yang tiada terbatas. Manusia hanya terbatas kemampuannya memahami kemahakuasaan Tuhan yang tiada terbatas itu.



http://farm1.staticflickr.com/181/454992251_8f25b73bbc_z.jpg
Besakih : Personifikasi Tri Murti
Misalnya Tuhan diyakini sebagai maha pencipta, maha pelindung dan maha pemralina. Tiga kemahakuasaan Tuhan itulah dalam kitab Bhuwana Kosa yang dikutip di atas disebut Brahma, Wisnu dan Rudra. Itulah yang disebut Tri Murti. Beliau itu satu hanya beda fungsi dan sebutan atau nama saja. Rudra ini juga disebut Iswara. Dalam Bhuwana Kosa tersebut Tuhan disebut Siwa. Sebagai pemralina atau melenyapkan sesuatu yang patut dilenyapkan Tuhan Siwa disebut Rudra atau Iswara.


Dalam Lontar Barong Swari ada dinyatakan bahwa di bumi ini manusia diserang oleh wabah yang sangat hebat. Dari utara bumi ini diserang oleh wabah yang disebut Gering Lumintu. Dari barat diserang oleh Gering Amancuh. Dari Selatan diserang oleh Gering Rug Bhuana. Dari timur diserang oleh Gering Utah Bayar. Serangan wabah ini membuat hidup manusia benar-benar sangat menderita. (Gering = wabah)

Untuk mengatasi wabah tersebut manusia melakukan langkah-langkah sekala dan niskala. Langkah niskala yang dilakukan oleh manusia dipimpin oleh para pandita dan pinanditanya memanjatkan permohonan pada Tuhan Siwa. Tujuan permohonan itu untuk mendapatkan kekuatan spiritual melawan wabah tersebut.

Tuhan Siwa mengutus Dewa Tri Murti turun ke dunia untuk menuntun manusia melenyapkan penderitaan dan kesedihan tersebut. Dewa Brahma turun menjadi Topeng Bang. Dewa Wisnu turun menjadi Topeng Telek. Sedangkan Dewa Iswara turun menjadi Barong. Dengan pementasan Topeng Bang, Topeng Telek dan Barong ini Dewa Tri Murti memotivasi rohani umat manusia untuk bangkit mendapatkan kegembiraan rohani.

Dari kegembiraan rohani inilah akan muncul gagasan-gagasan cemerlang untuk mengatasi serangan wabah yang disebut gering itu. Dalam Lontar
Babad Rangda dan Barong ada sedikit perbedaan mengenai simbol barong itu. Dalam babad tersebut barong itu dinyatakan sebagai perwujudan Banas Pati Raja. Banas Pati Raja itu artinya rajanya hutan atau pelindung hutan.

http://images.travelpod.com/users/katrinaoliver/1.1272994334.the-barong.jpg
Barong, Penjaga Niskala

Cerita ini adalah pesan ajaran tattwa agama Hindu yang dikemas dalam bentuk mitologi. Untuk mengatasi penderitaan masyarakat hendaknya ditempuh langkah yang bersifat sekala atau nyata dan yang bersifat niskala. Pementasan barong yang umumnya disertai dengan tari Topeng Bang, dan Telek sebagai media untuk membangkitkan vibrasi spiritual pada masyarakat. Vibrasi spiritual itu untuk membangun kejernihan rohani.

Rohani yang jernih itu sebagai langkah awal membangun pemikiran yang jernih. Dari pikiran yang jenih akan muncul wacana dan langkah nyata untuk memberantas penyakit yang datang dari berbagai penjuru. Penyakit yang harus diberantas adalah penyakit fisik dan nonfisik. Demikian pula penyakit yang muncul karena rusaknya lingkungan alam dan lingkungan sosial.

Mengatasi semuanya itu harus dimulai dari menguatkan daya spiritualitas. Daya spiritualitas itu datang dari kuatnya keyakinan umat pada Tuhan. Keyakinan dengan menguatkan daya spiritualitas itulah Tuhan akan menurunkan karunianya dalam wujud memberi kegembiraan rohani. Kegembiraan rohani itulah yang disimbolkan dengan pementasan barong lengkap dengan Topeng Bang dan Topeng Telek yang lemah lembut.

Kadang-kadang hanya ada barong yang Ngelawang mengelilingi desa. Lebih-lebih pada Sasih Kaenem (Bulan keenam dalam kalender Bali) banyak wabah terjadi. Saat itulah banyak desa pakraman barongnya Ngelawang. Barong ngelawang ini di masing-masing desa pakraman atau daerah tertentu tradisinya berbeda-beda. Tetapi, maknanya sama yaitu sebagai simbol untuk menghadirkan kekuatan suci Batara Iswara memotivasi umat menghilangkan segala sumber penyakit yang menyengsarakan masyarakat. Barong yang dinyatakan sebagai perwujudan Banas Pati Raja itu bermakna untuk memotivasi umat melindungi hutan. Hutan memiliki banyak fungsi dalam kehidupan ini.





http://distilleryimage8.s3.amazonaws.com/66be9fe4685b11e1989612313815112c_7.jpg
Ngelawang : menetralisir energi negatif
 Salah satu fungsinya sebagai penyerap air untuk dialirkan melalui danau dan sungai-sungai. Air adalah unsur terpenting dari kehidupan seluruh makhluk hidup di kolong langit ini. Barong ngelawang itu juga dimaksudkan untuk memotivasi kesadaran umat melindungi hutan. Tanpa hutan air akan menghilang ke laut dan juga menimbulkan banjir di kota. Akibatnya wabah pun merebak.

Sabtu, 18 Agustus 2012

Tantrayana : Menguak Keyakinan Calonarang

Rakyat Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, sejak dahulu memeluk agama yang berbeda-beda. Tantrayana adalah suatu aliran atau sekte yang pada masa lampau pernah cukup banyak pemeluknya dan berkembang luas di Indonesia; bahkan raja Kertanegara dari kerajaan Singasari adalah seorang penganut yang taat dari agama Budha Tantra.
Raja Kertanegara dari kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah seorang raja yang sangat taat melaksanakan ajaran Tantrayana. Beliau hidup berpesta pora di dalam istana bersama-sama dengan mentri-mentri dan para pendeta terkemuka. Bahkan ketika Singasari diserbu oleh pasukan kerajaan Kediri pun mereka sedang mengadakan pesta pora, tetapi upacara pesta pora, makan minum besar-besaran tersebut bukan sebagai pesta biasa, melainkan raja bersama para mentri dan pendeta itu sedang melakukan upacara-upacara Tantrayana (Soekmono, 1959 : 60).
Untuk mengungkapkan perkembangan Tantrayana di Bali maka uraian tidak bisa lepas dari hubungan Bali dengan Jawa Timur, yang dimulai dengan perkimpoian raja Dharma Udayana Warmadewa di Bali dengan seorang putri raja Jawa Timur yang bernama Sri Gunapriyadharmapatni. Beliau adalah putri Makutawangsawardhana, sedangkan Makutawangsawardhana adalah cucu Raja Sindok. Pada masa pemerintahan Raja Sindok di Jawa Timur Tantrayana telah berkembang. 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUSSZfsM9dbJcGTxokiL5aVRQVZTvt8MlbWVNHqrr7zL4Et977m4cuT0GhDUgIahlRtylwZIVjtb2-gtU5vhG3bAEHYmjqbMhDz8cEC53-uzX5AKsB2tTi-REhg0UM6geV5Vzs5-N1hDwC/s1600/3524244659_f68fe1cd08_b.jpg
Rangda
Pada waktu itu telah disusun kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang menguraikan soal-soal ajaran dan ibadah agama Budha Tantra. Kemungkinan bahwa Sri Gunapriyadharmapatni atau Mahendradhatta pun telah terpengaruh oleh aliran itu di tempat asalnya di Jawa timur, sebab di Bali jaman pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa dan Gunapriyadharmapatni merupakan jaman hidup suburnya perkembangan ilmu-ilmu gaib. 

Cerita Calon Arang yang sangat terkenal di Bali dihubungkan dengan kehidupan Mahendradhatta. Di dalam Lontar Calon arang ada diuraikan bagaimana memuja Hyang Bhairawi atau Dewi Durga untuk mendatangkan wabah penyakit di dalam negeri Kerajaan Airlangga. Calon arang dan muridnya menari-nari di atas mayat-mayat yang telah dihidupkan kembali untuk persembahan Dewi Durga sebagai korban agar semua kehendaknya bisa dikabulkan. Cara-cara seperti itu adalah hal yang biasa di dalam Tantrayana.
Permaisuri Mahendradhatta mangkat lebih dahulu dari raja Udayana dan didharmakan di Burwan, Kutri, Gianyar. Di tempat itu beliau diwujudkan dalam bentuk arca besar Durgamahisasuramardhini. Arca itu merupakan Bhatari Durga yang sedang membunuh asura (setan) yang berada pada badan seekor kerbau besar (Goris, 1048 : 6). Arca itu menguatkan dugaan orang bahwa Mahendradhatta sebagai penganut ajaran-ajaran ilmu gaib dan Dewi Durgalah yang menganugerahi kesaktian (Shastri, 1963 : 49). Kendatipun dalam cerita calon arang banyak keadaan yang bercampur baur dan keliru, tapi mungkin ada dasar-dasarnya yang benar bahwa Mahendradhatta dilukiskan sebagai Calon Arang (Goris, 1948 : 7). Dengan demikian maka kemungkinan pada sekitar abad X Tantrayana telah berkembang di Bali.
http://www.berwisatadibali.com/wp-content/uploads/2012/01/archa+pura_durgha_kutri.jpg
Arca Durga Mahisasuramardhini di  Kutri
Kemudian pada sekitar abad XIII di Jawa Timur memerintah raja Kertanegara sebagai raja terakhir kerajaan Singasari. Raja ini terkenal dalam ilmu politik luar negerinya ingin meluaskan daerah kekuasaannya ke Barat sampai ke Bali. Menurut kitab Negarakertagama raja Kertagama pada tahun 1280 masehi membunuh orang jahat yang bernama Mahisa Rangkah dan selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 1284 beliau telah menyerang Bali dan rajanya ditawan (Krom, 1956 : 188). Hal itu tercantum dalam kitab Negarakertagama di katakan sebagai berikut :

Leak Bali : Lebih Jauh Tentang Ilmu Pangleakan Bali...(Hati-Hati!)


Sama seperti halnya ilmu2 lain yang ada di jagat raya, di Bali juga terdapat 2 jenis ilmu yaitu ilmu putih (penengen) dan ilmu hitam (pangiwa). Ilmu hitam (pangiwa) sering juga disebut aji wegig/aji ugig. Adapun cara untuk mendapatkan ilmu tersebut bisa dengan cara membeli ataupun meminta (nunas) dan belajar di bawah pengawasan gurunya. Berikut kira2 cara untuk memperoleh ilmu hitam / pengleakan tersebut:

Untuk mendapatkan ilmu tersebut, harus mengadakan upacara yang disebut madewasraya. Apabila ingin menggunakan pangiwa, supaya dapat sakti dan manjur, mujarab dan digjaya, terlebih dahulu harus menyucikan diri. Setelah itu tatkala malam diadakannya madewasraya dahulu di kayangan pangulun setra (pura yang ada di dekat kuburan), memohon Paduka Betari Durga, memohon berkah. 
 http://nanoxx.files.wordpress.com/2012/01/leak-bali-full.jpg 
Adapun sarananya:
1. Daksina 1 buah
2. Uang kepeng sebanyak 17.000
3. Ketupat 2 kelan (1 kelan = 6 biji)
4. Arak & brem
5. Ketan hitam
6. Canang 11 biji
7. Canang tubungan, burat wangi lenga wangi, nyanyah (sangrai) gagringsingan, getih-getih (darah), dan biu mas (pisang kecil yang biasanya dipakai untuk membuat canang)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRaptt1xyqwpGsedOeAGtbPw0cj8BM2R8eXBo4SNTLc2J8bHpswX7BmdHe0K1Xgvco3lSMOn03bWyJT7T0b136I1yOBKCnomr8BEefb8-clSIJy7MBC4RVhTQkQMmj9owEe5ACL8sj0R4/s1600/Daksina3.jpg
Daksina
http://i127.photobucket.com/albums/p159/blackinjpn/burat.jpg
Canang Burat Wangi
Kemudian sarana ini dipersembahkan secara niskala. Setelah itu bersila di depan paryangan, bersemadi dan tidak lupa dengan dupa menyan astanggi, heningkan batin. Kemudian ucapkan mantra:

"Om Ra Nini Batari Bagawati, turun ka Bali; ana wang mangkana; aminta kasih ring Paduka Batari, sira nunas turun ka mrecapada. Ana wang mangkana anunas kasaktian, manusa kabeh ring Bagawati, Sang Hyang Guru turun ka mrecapada. Ana wang manusa angawe Batara kabeh, turun ka Bali Sang Hyang Bagawati. Ana buta wilis, buta abang, ana buta jenar, ana buta ireng, ana buta amanca warna, mawak I Kalika, ya kautus antuk Batari Bagawati, teka welas asih ring awak sarinankune, pakulun Paduka Bagawati. Om Mam Am Om Mam, ana Paduka Batara Guru, teka welas asih, Bagawati manggih ring gedong kunci manik, teka welas asih ring awak sarinanku".

Apabila sudah berhasil mendapatkan ilmu tersebut, maka ada aturan yang harus dipatuhi. Orang yang memiliki ilmu tersebut akan digjaya tidak terkalahkan, tidak bisa diungguli, dan semua akan tunduk kepadanya. Apabila mampu merahasiakannya, maka dalam 100 kali kelahiran akan menemui kebahagiaan dan kebebasan tertinggi. Dan bila meninggal dapat kembali ke sorga Brahmaloka, Wisnuloka, dan Iswaraloka. Tetapi bila ketahuan, apalagi sampai suka membicarakan, menyebarluaskan, dan tidak mampu merahasiakannya, maka dalam 1000 kali kelahiran akan menemui hina, neraka, disoroti oleh masyarakat, dan sudah pasti terbenam dalam kawah neraka Si Tambra Goh Muka.
http://i127.photobucket.com/albums/p159/blackinjpn/calonarang.jpg
Sebuah pertunjukan calonarang di Bali
Ilmu Pangiwa dapat dibagi menjadi 5 bagian yang merupakan cabangnya, yaitu:

1. Pengasren
2. Pangeger
3. Pangasih - asih
4. Penangkep
5. Pangleakan (aji wegig)


Baiklah, kita bahas dulu yang pertama.

1. Pengasren

Pengasren adalah cabang ilmu pangiwa yang mampu membuat pemakainya menjadi lebih cantik / tampan. Dengan ilmu ini, si pemakai bisa membuat si korban tergila2 bahkan lupa dengan segala2nya termasuk keluarga. Adapun kutipan mantranya:

"OM 3x, IH 3x, tumurun Bathari Durga, UM mamurti I Ratna Manggali, mamurti duhuring lela matangkep, Ngsuing 3x, tumurun Ida Bhatari Durga, UM 3x, EH 3x, ma, OM ngaji gunane Bhatari Durga, dan seterusnya.............


Biasanya para dukun melakukan ini yang kemudian disebarluaskan dengan cara dijual kepada para kliennya... cieeehhh klien... Hahahaha.... Berikut rerajahan yang biasanya dipakai untuk mempercantik / mempertampan diri:
http://img237.imagevenue.com/loc539/th_92138_pengasren_122_539lo.jpg
gbr 1

2. Pangeger

Sungguh sangat ambigu bagi orang yang mengetahui nama ilmu pangeger. Sebab dalam Lontar Usada Manak, nama ilmu pangeger adalah ilmu untuk memperlancar / mempercepat proses kelahiran. Di samping pangeger tersebut, ada juga ilmu yang disebut dengan panyeseh, dimana fungsi kedua ilmu ini adalah sama.
Di sini yang saya coba jelaskan adalah ilmu pangeger di cabang ilmu pangiwa (ilmu hitam), ilmu ini juga disebut dengan istilah panglenyeh. 
Pangeger ini adalah cabang dari ilmu pangiwa yang mampu membuat pemakainya laris, baik dalam kegiatan ekonomi atau terhadap dirinya sendiri.... Kalo orang banyak sih bilang "pengelaris". Orang yang menggunakan pangeger ataupun pangasren terlebih dahulu dimasukkan ajaran ilmu pangiwa. Ibaratkan pangiwa adalah sebuah busur panah dan pangeger & pangasren adalah anak panahnya.
Fungsi ilmu ini adalah untuk membuat si pemakai menjadi laris apalagi jika disertai kata2 yang manis. Tingkah laku si pemakai sangat menawan dengan senyumnya yang manis, bahkan terkadang tawanya pun sangat nyaring dan indah didengar 
Adapun cara untuk mendapatkan pangeger ini adalah dengan cara meminta / membeli kepada seorang dukun.
Mohon maaf, terus terang untuk mantra nya saya tidak punya..... 

CANANG SARI BALI.



Apa itu Canang Sari Bali ?.
Canang Sari adalah bentuk persembahan paling sederhana ,canangsari berupa wadah terbuat dari janur diisi bunga dan dupa sebagai sarana melakukan persembahyangan orang Bali . Canang sari itu sendiri bermakna : Sesajen ,dimana isinya mayoritas bunga -bungaan. Walaupun sederhana, Canang sari sangat populer dan dibutuhkan masyarakat Bali. Selain itu, Canang sari sangat indah dipandang mata dengan dupa dan cipratan air suci, ada aura sejuk yang dipancarkan dari canang sari .Canang sari dipergunakan untuk melengkapi persembahan lainnya atau dipergunakan pada hari-hari tertentu seperti: hari kliwon, bulan Purnama, bulan Tilem atau persembahyangan di tempat suci.

Dalam agama Hindu sarana persembahyangan dapat berupa bunga, air, buah ,daun, dan api. Dimana kemudian konsep persembahan ini dalam budaya Bali dipraktekkan dalam wujud seni. Salah satunya dalam aneka ragam bentuk sesajen, yaitu adalah Canang Sari.

Bentuk banten canang sari ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian bawah canangsari bisa berbentuk bulat ataupun segiempat seperti ceper atau taledan. Sering pula Canang Sari diberi hiasan "Trikona/plekir" pada pinggirnya. Pada bagian ini terdapat pelawa, porosan, tebu, kekiping (jajanan dari tepung beras), pisang dan beras kuning yang dialasi dengan tangkih. Dapat pula ditambah dengan burat wangi dan lengawangi seperti pada canang buratwangi. Di Canang sari barulah diisi berbagai macam bunga diatur seindah mungkin dialasi dengan sebuah "uras sari/sampian uras".

Canang sari dilengkapi dengan sesari berupa uang kertas, uang logam maupun uang kepeng. Perlengkapan seperti tebu, kekiping, dan pisang emas disebut "raka-raka". Raka-raka melambangkan Hyang Widyadhara-Widyadhari. Pisang emas melambangkan Mahadewa, secara umum semua pisang melambangkan Hyang Kumara, sedangkan tebu melambangkan Dewa Brahma.

Komponen canang sari :
- Daun janur sebagai alas;
- Porosan (sebentuk kecil daun janur kering yang berisi kapur putih);
- Seiris pisang;
- Seiris tebu:
- Boreh miik (sejenis bubuk berbau wangi);
- Kekiping (sejenis kue dari ketan yang kecil dan tipis);
- Di atasnya diletakkan bunga beraneka ragam (umumnya berupa warna : putih, kuning, merah, hijau);

Isi canang sari mengikuti aturan-aturan yang tertuang dalam lontar. Jadi, canang sari tidak diambil dari kitab Weda, namun isi Weda yang kemudian diterjemahkan ke dalam lontar yang ditulis oleh para leluhur di Bali.
Canang sari umum dipakai dalam persembahan sehari-hari. Sedangkan pada hari-hari besar keagamaan, canang sari hanya dipakai sebagai pelengkap saja. Pada hari-hari raya keagamaan , masyarakat Bali memakai sesajen yang lebih tinggi daripada canang sari.
Canang sari tidaklah mahal dan mudah didapat di pasar-pasar tradisional di Bali. Pada hari-hari raya besar, canang sari mengalami kenaikan harga karena banyak yang membutuhkan canang sari.
itulah sekilas informasi tentang Canangsari Bali ...

Daksina – Makna Serta Cara Membuatnya

 
clip_image002
Daksina disebut Juga "YadnyaPatni" yang artinya istri atau sakti daripada yadnya. Daksina juga dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru/ Hyang Tunggal kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.
Unsur-unsur yang membentuk daksina, diurut dari isi terbawah hingga diatas yaitu:
  • Alas bedogan/srembeng/wakul/katung; terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya. Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.
  • Bedogan/ srembeng/wakul/katung/ srobong daksina; terbuat dari janur/slepan yang dibuta melinkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum Abadi tuhan )
  • Tampak; dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampak adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos. tampak juga melambangkan swastika, yang artinya semoga dalam keadaan baik.
  • Beras; yang merupakan makanan pokok melambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva)
  • Sirih temple / Porosan; terbuat dari daun sirih (hijau – wisnu), kapur (putih – siwa) dan pinang (merah – brahma) diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan adalah lambang pemujaan.
  • Kelapa; adalah buah serbaguna, yang juga simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya lambang Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, Serat saluran sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka, Serabut basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit serat kering lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pe ngikat indria.
  • Telor Itik; dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira, Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula sarira. dipakai telur itik karena itik dianggap suci, bisa memilih makanan, sangat rukun dan dapat menyesuaikan hidupnya (di darat, air dan bahkan terbang bila perlu)
  • Pisang, Tebu dan Kojong; adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari ala mini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya. Dalam tetandingan Pisang melambangkan jari, Tebu belambangkan tulang.
  • Buah Kemiri; adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki, dari segi warna putih (ketulusan)
  • Buah kluwek/Pangi; lambang pradhana / kebendaan / perempuan, dari segi warna merah (kekuatan). Dalam tetandingan melambangkan dagu.
  • Gegantusan; merupakan perpaduan dari isi daratan dan lautan, yang terbuat dari kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam dan ikan teri yang dibungkus dengan kraras/daun pisang tua adalah lambang sad rasa dan lambang kemakmuran.
  • Papeselan yang terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian / langsat / ceroring lambang Mahadeva, daun salak / mangga lambang Visnu, daun nangka atau timbul lamban Siva. Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).
  • Bija ratus adalah campuran dari 5 jenis biji-bijian, diantaranya; godem (hitam – wisnu), Jawa (putih – iswara), Jagung Nasi (merah – brahma), Jagung Biasa (kuning – mahadewa) dan Jali-jali (Brumbun – siwa). kesemuanya itu dibungkus dengan kraras (daun pisang tua).
  • Benang Tukelan; adalah alat pengikat simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina. dalam tetandingan dipergunakan sebagai lambing usus/perut.
  • Uang Kepeng; adalah alat penebus segala kekurangan sebagai sarining manah. uang juga lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
  • Sesari; sebagai labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha)
  • Sampyan Payasan; terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina.
  • Sampyan pusung; terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria
Seperti dijelaskan dalam Lontar Yadnya Pelutaning , Daksina  adalah simbol salam kepada manifestasi Tuhan ( Ida Sanghyang Widhi Wasa ). Daksina juga berarti buah yadnya. Setelah upacara, daksina disajikan kepada pemimpin upacara untuk bersyukur. Sebagai simbol manifestasi, Daksina diisi dengan 13 unsur sebagaimana tercantum di bawah ini.

Kewangen

ESTETIKA SIMBOL UPAKARA “OMKARA”  DALAM BENTUK KEWANGEN
Agama Hindu merupakan agama yang ritualnya dihiasi dengan sarana atau
upakara. Ini bukan berarti upakara itu dihadirkan semata-mata untuk menghias
pelaksanaan ritual. Pelaksanaan ritual dengan jenis upakara tertentu memiliki makna
dan tujuan tertentu sesuai dengan jenis yadnya yang dilaksanakan. Sengaja atau tidak,
disadari atau tidak yang jelas kehadiran upakara dalam ritual Hindu di Bali tampak
indah atau mengandung estetika.
Upakara ritual agama Hindu di Bali kaya dengan jenis dan bentuk upakara.
Baik dari bentuk yang paling kecil dan sederhana, sampai yang paling besar dan
rumit. Sebagai contoh dalam pelakasanaan upacara keagamaan atau dalam
persembahyangan diperlukan beberapa sarana, seperti penjor, gebogan, daksina,
canang sari, dan sebagainya. Termasuk juga salah satunya berupa “kewangen”.
Kalau dikaitkan dengan huruf suci, kwangen merupakan sejenis upakara
simbol “Omkāra” (ý) (Niken Tambang Raras, 2006: 2). “Om” (ý) adalah huruf suci,
singkat dan mudah diingat. Demikian juga dalam bentuk upakaranya berupa
“kewangen” memiliki bentuk kecil, mungil, praktis, dan indah serta berbau harum.
Keharuman ”kewangen” ini adalah suatu tanda atau isyarat agar umat atau bhakta
senantiasa mengingat, mengucapkan, dan mengharumkan nama suci Tuhan.
Keberadaan “Kewangen” sangat penting dalam upacara persembahyangan karena
memiliki makna simbolik yang dipuja yaitu Tuhan Yang Mahaesa (Ida Sang Hyang
Widhi Wasa). Sebagai simbolik Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), tentunya
“kewangen” dibuat dengan bentuk yang indah dari bahan-bahan yang indah juga dan
harum. Hal ini dapat dimaknai bahwa Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah
indah, harum, dan suci sehingga menarik untuk dipuja dan dimuliakan.
Berdasarkan paparan di atas, penulis merasa tertarik untuk mengungkapkan
estetika “Omkāra” dalam bentuk “kewangen”, yaitu bagaimana bentuk estetika
“kewangen”?, unsur-unsur apa yang membentuk estetika “kewangen”?, dan
bagaimana hubungan bentuk, estetika dan fungsi “kewangen” dalam
persembahyangan?
Bentuk Kewangen
Sebagai simbol “Omkara” dalam bentuk upakara, “kewangen” memiliki
ukuran bentuk yang kecil, yaitu bagian bawah lancip dan bagian atas mekar seperti
bunga sedang kembang. Kewangen biasanya terdiri dari: kojong dari daun pisang,
pelawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga harum
yang ditusuk dengan biting. Semua bahan tersebut dipadukan atau disatukan. Porosan
sisih asih dan pelawa dimasukan ke dalam kojong. Selanjutnya sampian kewangen,
bunga-bunga harum, dan terakhir adalah pis bolong yang lobangnya diisi lidi yang
dilipat sehingga mudah ditancapkan. Adapun bentuk “kewangen” seperti yang
Nampak pada gambar berikut.
image
Gambar Bentuk Kewangen
Estetika Kewangen
Keindahan (estetika) hasil dari kreativitas manusia baik sengaja atau tidak,
pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani bagi pembuat
karya itu sendiri dan bagi masyarakat penikmat. Kehidupan manusia dalam
kesehariannya selalu memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya,
baik yang diperoleh dari keindahan alami maupun keindahan karya manusia. Manusia
tidak dapat dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena keindahan sebagai
penyeimbang logika manusia. Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup manusia.
Tanpa keindahan (estetika), hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai
rasa. Oleh karena itu kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai
penghalus rasa dalam kehidupannya.

Banten Pejati


Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya.

clip_image003
Banten Pejati6
Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam “Lontar Yajña Prakrti” disebutkan:
“sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana”
artinya:
semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).

Kamis, 28 Juni 2012

MAKNA 108


 
Angka 108 merupakan angka keramat bagi pemeluk Hindu di mana:
1. 1+0+8 = 9 berkaitan dengan pangider-ider Dewata Nawa Sangga (sembilan Dewa yang menyangga bumi dari arah mata angin)
ARAH MATA ANGIN
BETHARA
Timur Iswara
Tenggara Mahesora
Selatan Brahma
Barat Daya Rudra
Barat Mahadewa
Barat Laut Sangkara
Utara Wisnu
Timur Laut Sambu
Tengah Siwa (Siwa-Sada Siwa-Parama Siwa)

2. Mitologi Sang Ratnakara, perampok dan pembunuh sadis yang hidup sekitar 3000 tahun Sebelum Masehi di India, sudah merampok dan membunuh 108 pendeta.
Suatu hari ia bertemu seorang pendeta, ketika hendak dibunuh, pendeta itu menghilang, demikian berkali-kali sehingga dia sadar bahwa itu bukan pendeta biasa; dia pun terduduk dan mohon ampun ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Turunlah Bethara Siwa yang tadi menyamar sebagai pendeta. Bethara Siwa mau memberi pengampunan bila Sang Ratnakara mau bertobat dan terlebih dahulu bertapa selama 100 tahun. Sang Ratnakara bersedia melaksanakan perintah, dan dia pun bertapa, sampai sekujur tubuhnya ditumbuhi lumut dan menjadi sarang semut.
Pada hari ke 100 tahun turunlah Bethara Brahma membangunkan tapa-nya dan memberi penugerahan, selanjutnya Bethara Wisnu memberikan pelajaran ke-dharma-an.
Lama kelamaan Sang Ratnakara di-Diksa sebagai Bhagawan Walmiki. Ketika Walmiki masuk sorga, salah satu pertimbangan-Nya adalah karma yang berupa dosa membunuh 108 pendeta sudah imbas dengan karma mulia yang dilaksanakannya setelah menjadi Wiku/ Bhagawan.
Ini dapat disimpulkan bahwa sejahat-jahatnya manusia, bila suatu ketika ia sadar dan bertobat serta menyerahkan dirinya secara utuh ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa selamanya, maka Beliau akan mempertimbangkan antara dharma dan adharma karma manusia tersebut.